Distribusi Pendapatan
Sudah merupakan suatu fakta umum dibanyak negara berkembang, terutama
Negara-negara proses pembangunan ekonomi yang sangat pesat seperti indonesi,
laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dibarengi dengan tingkat kesenjangan
ekonomi atau kemiskinan yang tinggi pula.
Sebagai dasar dari kerangka pemikiran untuk menganalisis masalah trade-off
antara pertumbuhan dan kemiskinan atau kesenjangan ekonomi adalaha salah satu
metode statik yang umum digunakan untuk mengetimasi sejauh mana pencapaian
tingkat kemerataan dalam distribusi pendapatan atau pengurangan kesenjangan
ekonomi dalam suatu proses pembangunan ekonomi adalah mengukur nilai koefesien
atau rasio gini.
Selai koefesien gini, pengukuran pemerataan pendapatan juga sering dilakukan
berdasarkan kriteria bank dunia : penduduk dikelompokan menjadi tiga kelompok;
yaitu penduduk dengan pendapatan rendah yang merupan 40% dari jumlah penduduk,
penduduk dengan berpendapatan menengah yang merupakan 40% dari jumlah penduduk,
dan penduduk yang berpendapatan tinggi yang merupakan 20% dari jumlah penduduk.
Selanjutnya ketidak merataan pendapatan disuatu ekonomi diukur berdasarkan
pendapatan yang dinikmati oleh 40% penduduk dengan pendapatan rendah.
Perubahan distribusi pendapatan
Perhitungan distribusi pendapatan di Indonesia menggunakan data survei
sosial ekonomi nasional (susenas) pada tahun 1984, 1987, 1990, 1993. data
pengeluaran konsumsi rumah tangga yang dikumpulakan oleh susenas digunakan
sebagai pendekatan (proxy) untuk mengukur distribusi pendapatan penduduk di
Indonesia. Karena pengertian pengeluaran konsumsi tidak sama dengan pengertian
kekayaan, perbedaan konsep ini menjadi kendala serius dalam mengukur secara
akurat tingkat dan distribusi kesejahteraan masyarakat Indonesia. Karena bisa
saja seseorang tidak punya pekerjaan (pendapatan), tetapi sangat kaya karena
ada warisan keluarga. Banyak pengusaha muda dari tingkat pendapatanya tidak
terlalu berlebihan, tetapi mereka sangat kaya karena perusahaan tempat mereka
bekerja adalah milik mereka (orang tuanya).
Penggunaan data pengeluaran konsumsi rumah tangga akan menghasilkandata
pendapatan yang underestimate karena jumlah pendapatan bia lebih besar, sama,
atau lebih kecil dari pada jumlah pengeluaran konsumsi. Misalnya pendapatan
lebih besar tidak selalu berarti pengeluaran konsumsi juga besar. Dalam hal
ini, berarti ada tabungan. Dalam hal ini belum tentu juga bila pendapatan
rendah tidak selalu jumlah konsumsi juga rendah. Banyak rumah tangga memakai
kredit untuk membiayai pengeluran konsumsi tertentu, misalnya untuk membeli
rumah dan mobil untuk biaya sekolah anak, atau bahkan untuk liburan.
Keberhasilan pembangunan di Indonesia tidak hanya di ukur dari peningkatan
pendapatan penduduk secara agregat atau per capital, tetapi juga (justru lebih
penting lagi) di lihat dari distribusi peningkatan pendapatan tersebut terhadap
semua anggota masyarakat. Sekarang ini, tingkat pendapatan per kapital di
Indonesia sudah lebih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan 30 tahun yang lalu,
yakni sekitar US$880. namun, apa artinya jika 10% saja dari jumlah penduduk di
tanah air yang manikmati 90% dari jumlah pendapatan nasional, sedangkan sisanya
(90%) hanya menikmati 10& dari pendapatan nasional selama ini hanya di
nikmati oleh kelompok 10% tersebut, sedangkan pendapatan kelompok 90% tidak
mengalami perbaikan yang berarti. Jadi dalam kata lain, pembangunan ekonomi di
Indonesia akan dikatakan berhasil sepenuhnya bila tingkat kesenjangan ekonomi
antara kelompok masyarakat miskin dan kelompok masyarakat kaya bisa diperkecil
Sejak akhir tahun 1970-an, pemerintah maulai memperliatkan kesugguhan dalam
upaya meningkatkan kesejahteraan penduduk ditanah air. Sejak itu aspek
pemerataan dalam triologi pembangunan semakin ditekankan dan didefinisikan
dalam delapan jalur pemerataan. Sudah banyak program pemerintahan hingga saat
ini yang mecerminkan upaya tersebut, seperti program serta kebijakan yang
mendukung pembangunan industri kecil dan rumah tangga serta koperasi, khususnya
dipedesaan, inpres desa tertinggal (IDT), program keluarga sejahtera, program
keluarga berencana (KB), program maka tambahan bagi anak sekolah dasar, program
transmigrasi, peningkatan upah minimum regional (UMR), dan masih banyak lagi.
Menurut kriteria Bank Dunia, secara umum tingkat kesenjangan dalam distibusi
pendapatan di Indonesia selama kurun waktu 1984-1993 tergolong rendah, baik
didaerah pedesaan maupun daerah perkotaan yang ditunjukan oleh
besarnyapersentase pendapatan yang dinikmati oleh kelompok penduduk 40% berpenghasilan
rendah. Bagi kelompok penduduk 20% berpendapatan tinggi, besar pendapatanya
yang diterima justru mengalami penurunan. Penurunan pangsa pendapatan ini
karena laju pertumbuhan pendapatan kelompok penduduk 40% berpendapat rendah dan
40% berpendapat menengah lebih besar dari pada laju pertumbuhan pendapatan
kelompok penduduk 20% berpendapat tinggi.
Tingkat pemerataan pendapatan di daerah pedesaan yang relatif lebih baik dari
pada didaerah perkotaan juga terjadi hamper disemua propinsi di Indonesia. Semakin
buruknya distribusi pendapatan di daerah perkotaan dibandingkan didaerah
pedesaan terutama disebabkan oleh pola perekonmian dan jumlah serta kondisi
sarana dan prasarana pendukung kegiatan ekonomi sangat berbeda antara pedesaan
dan perkotaan. Dikota, Jakarta misalnya persaingan dalam dunia usaha dan dalam
mendapatkan pekerjaan semakin keras. Jumlah manusia dijakarta semakin keras.
Jumlah manusia dijakarta semakin banyaki, diperkirakan sekita sepuluh juta
orang, yang sebagian disebabkan oleh orang-orang yang terus datang ke Jakarta
terutama yang berasal dari Jawa dan Sumatra. Sementara kemanapun ekonomi
Jakarta untuk memberi pekerjaan bagi pencari kerja yang bertambah jumlahnya
setiap tahun terbatas. Terjadi perpindahan surplus tenaga kerja dari desa ke
kota. Mereka tidak bisa ditampung disektor formal akhirnya masuk ke sector
informal yang pada umumnya merupakan kegiatan ekonomi dengan tingkat
produktivitas dan pendapatan rendah. Karena terlalu banyak orang yang mau
bekerja disektor formal, sedangkan daya tamping sector tersebut terbatas maka
semakin berat seleksi penerimaan pekerja. Pendidikan atau keterampilan khusus
menjadi salah satu kriteria utama dalam seleksi tenaga kerja disektor formal.
Jumlah penganggruan, terutama setengah pengangguran, semakin tinggi, dan
kesenjangan antara kelompok masyarakat yang mempunyai kesempatan bekerja
disektor formal dan kelompok masyarakat yang hanya bisa bekerja disektor
informal atau yang tidak memiliki pekerjaan semakin besar.
Kemiskinan
Masalah kemiskinan merupakan dilema bagi Indonesia, terutama melihat
kenyataan bahwa laju pengurangan jumlah orang miskin berdasarkan garis
kemiskinan yang berlaku jauh lebih lambat dari pada lajupertumbuhan ekonomi
dalam kurun waktu sejak pelita I dimulai hingga saat ini (Repelita VI). Karena
kemiskinan merupakan salah satu masalah ekonomi Indonesia yang serius maka
tidak mengherankan kalau banya studi telah dilakukan mengenai kemiskinan tanah
air. Sayangnya, pendekatan yang dipakai antarstudi yang ada pada umumnya
berbeda dan batas miskin yang digunakan juga beragam sehingga hasil atau
gambaran mengenai kemiskinan di Indonesia juga berbeda. Kemiskinan relatif
dapat diukur dengan kurva Lorentz dan atau koefesien gini. Sedangkan kemiskinan
absolute lebih sulit untuk di ukur, terutama pada waktu membandingkan tingkat
kemiskinan antarpropinsi atau daerah.
Faktor penyebab kemiskinan, faktor yang berpengaruh langsung dan tidak langsung
terhadap perubahan kemiskinan. Sebagai contoh sering dikatakan bahwa salah satu
penyebab kemiskinan adalah tingkat pendidikan yang rendah. Seseorang dengan
tingkat pendidikan hanya SD, misalnya sangat sulit mendapatkan pekerjaan
terutama dalam sektor modern , (formal) dengan pendapatan yang baik. Berarti
penyebab kemiskinan bukan hanya pendidikan yang rendah, tetapi tingkat
gaji/upah yang berbeda.
Kalau diuraikan satu persatu, jumlah faktor yang dapat dipengaruhi, langsung
maupun tidak langsung, tingkat kemiskinan cukup banyak, mulai dari tingkat dan
laju pertumbuhan output (atau produktifitas), tingkat upah neto, distribusi
pendapatan, kesempatan kerja, jenis pekerjaan yang tersedia, inflasi, pajak dan
subsidi, investasi, alokasi serta kualitas sumber daya alam, penggunaan
teknologi, tingkat dan jenis pendidikan, kondisi fisik dan alam disuatu
wilayah, etos kerja dan motivasi pekerja, kultur/budaya atau tradisi, hingga
politik, bencana alam, dan peperangan. Kalau diamati, sebagian besar faktor
tersebut juga saling mempengaruhi satu sama lain. Misalnya dari pekerja yang
bersangkutan sehingga produktivitasnya menurun. Produktifitas menurun
selanjutnya dapat mengakibatkan tingkat upah netonya berkurang, dan seterusnya.
Jadi, dalam kasus ini, tidak mudah untukmemastikan apakah karena pajak naik
atau produktifitasnya yang turun membuat pekerja tersebut menjadi miskin karena
upah netonya menjadi rendah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar